Selasa, 06 September 2011

Orasi Profesor Emil Salim

Seiring dengan acara hala Bihalal Idul Fitri di lingkungan Universitas Indonesia, Prof. Emil Salim didaulat memberikan Orasi Ilmiahnya. Berikut saya tampilkan isi dari orasi beliau yang sempat dibagikan oleh kawan saya di salah satu milis.

MEMBANGUN TATA-KELOLA UNIVERSITAS INDONESIA BERHATI-NURANI

Sudah menjadi tradisi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyelenggarakan setiap tahun pertemuan halal bi halal mempererat ikatan silaturahmi antar anggota keluarga fakultas. Kali ini keadaannya agak istimewa karena secara luas melalui media sosial saya “ditodong” untuk memberikan “orasi ilmiah” dengan judul, yang bukan saya ciptakan, tentang pemberian gelar Dr.Honoris Causa kepada Raja Arab Saudi beberapa waktu lalu.

Semula saya risi menyampaikan “orasi ilmiah” dalam kesempatan acara halal bi halal yang sarat dengan semangat persaudaraan, kekeluargaan antara kita sesama anggota civitas academika Fakultas Ekonomi khususnya dan Universitas Indonesia umumnya.

Namun saya kemudian tertegun ketika selama beberapa hari akhir-akhir ini menerima ratusan sms dan surat-elektronik yang datang bertubi-tubi mengungkapkan keprihatinan terhadap buruknya tata-kelola pimpinan Universitas yang berujung pada saran menurunkan Rektor Universitas Indonesia. Bahkan tumbuh kekhawatiran bahwa “orasi ilmiah” bisa dijadikan alat politik “menghantam dan menggoreng Pemerintah” oleh media pers dan kalangan yang kurang menyukai Pemerintah.

Tersimpul dalam ratusan sms dan surat-elektronik ini pula kehausan pada tata-kelola Universitas Indonesia yang lebih baik dan bertumpu pada keinginan agar bisa ditegakkan (1) pola managemen yang transparan; (2) akuntabilitas dalam pelaksanaan; (3) partisipasi dari para penopang-kepentingan dalam universitas; (4) berkembang subur sistem check-and-balances dalam pengelolaan universitas; (5) tumbuhnya suasana kreatifitas bebas dari rasa ketakutan untuk berbeda-pendapat dalam kampus Universitas;

Mengapakah timbul arus bawah yang demikian besar kritisnya terhadap tata-kelola Universitas Indonesia akhir-akhir ini?

Selama satu dekade lebih, sejak diterbitkan pada tanggal 26 Desember 2000 “Peraturan Pemerintah nomor 152 tahun 2000”, tumbuh dan berkembang Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berasaskan
(a) kemandirian moral untuk membangun perguruan tinggi sebagai kekuatan moral dalam pembangunan masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing global;
(b) berwawasan global guna mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni.

Organisasi Universitas Indonesia terdiri dari:
(1) Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ Universitas yang mewakili kepentingan pemerintah, kepentingan masyarakat dan kepentingan universitas beranggotakan 21 orang, yakni Menteri, 11 wakil Senat Akademik Universitas Indonesia yang dipilih olleh SAU, 6 orang wakil unsure masyarakat umum yang diusulkan oleh SAU, 1 orang unsure karyawan universitas, 1 orang mewakili unsure mahasiswa, dan 1 orang mewakili unsure Rektor yang tidak dapat dipilih sebagai ketua dan tidak memiliki hak suara dalam hal menyangkut kinerja Rektor dan pemilihan Rektor;
(2) Dewan Audit sebanyak 5 orang yang bertanggung-jawab kepada MWA;
(3) Senat Akademik terdiri dari Rektor dan Wakil Rektor, Dekan Fakultas dan Ketua Program Pascasarjana, Wakil Guru Bersar, wakil Dosen bukan Guru Besar dan Kepala Perpustakaan Universitas;
(4) Dewan Guru Besar mencakup semua Guru Besar UI;
(5) Pimpinan Universitas terdiri dari Rektor dibantu bebepara orang Wakil Rektor. Rektor UI diangkat dan diberhentikan oleh MWA melalui pemilihan dengan suara yang dimiliki ujukan Menteri (35%) dan 65% sisa dibagi rata kepada setiap anggota lainnya. Calon Rektor diajukan oleh Senat Akademik kepada MWA melalui proses pemilihan.

Tampak dengan jelas sifat demokratis dengan pola check-and-balances selama sepuluh tahun (2002-2012) UI memiliki dua masa kerja MWA dan Rektor.

Atas permohonan sebuah yayasan kepada Mahkamah Konstitusi menguji UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah Konstutusi pada tanggal 31 Maret 2010 membatalkan UU BHP, Penafsiran Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Pencabutan Penjelasan pasal 53 UU Sisdiknas, dan mencabut hal terkait dengan istilah Badan Hukum Pendidikan.

Sebagai implikasi dari keputusan Mahkamah Konstitusi lahir Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas PP no.17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang pada pokoknya menjelaskan bahwa

Pengelolaan pendidikan yang dilakukan UI masih tetap berlangsung sampai dilakukan penyesuaian pengelolaannya berdasarkan PP ini.
Penyesuaian pengelolaan dilakukan palinglama 3 tahun sebagai masa transisi sejak PP diundangkan;
UI (dan 6 PT BHMN lainnya) ditetapkan sebagai perguruan tinggi diselenggarakan Pemerintah;
Penetapan lebih lanjut masing-masing perguruan tinggi sebagaimana dimaksud sebagai perguruan tinggi diselenggarakan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Presiden;
Peraturan Pemerintah nomor 152 tahun 2000 tentang Penetapan UI sebagai BHMN masih tetap berlaku sepanjang dimaknai sebagai fungsi penylenggara pendidikan tinggi yang tidak bertentangan dengan PP ini dan peraturan perundang-undangan sesudah masa transisi;
Tata kelola perguruan tinggi dinyatakan masih tetap berlaku adalah tidak termasuk kelola keuangan.

Nampaknya pasal-pasal tentang masa transisi ini menimpbulkan multi-tafsir antara pendapat hukum Rektorat dengan Penasehat Hukumnya didukung Direktur Jendral Pendidikan tinggi di satu fihak dengan pendapat hukum yang diperoleh MWA, Dewan Guru Besar UI dan Dewan Guru Besar Hukum UI yang secara khusus diminta Legal Opinion-nya oleh MWA mengatasi kemelut tafsir hukum ini.

Berdasarkan pendapat hukum yang saya terima, seharusnya selama masa transisi sekarang ini hingga dikeluarkannya; (1) Peraturan Presiden tentang Status Perguruan Tinggi UI dan (2) Keputusan Mendiknas tentang Statuta UI, maka tata kelola UI dan organ-organ UI masih mengikuti PP nomor 152 tahun 2010.

Sementara itu, Rektor telah melaksanakan perubahan organ-organ di dalam UI sesuai PP nomor 66 tahun 2010 tanpa menunggu diterbitkannya payung hukum tentang status UI maupun Statuta UI yang menjadi landasan tata kelola UI.

Dengan keprihatinan yang mendalam saya pelajari dampak dari tidak dijalankannya masa transisi dari sisi ketiadaan good governance dengan checks and balances yang memadai. Organ Senat Akademi Universitas, yang keanggotaannya berakhir pada tanggal 17 Juli 2011 dan dalam masa transisi masih bisa diisi oleh anggota baru dan dimungkinkan masih diperpanjang masa kerjanya, ternyata dirubah pada tanggal 15 Mei 2011 menjadi Senat Universitas, suatu organ yang baru ada dalam PP nomor 66 tahun 2010 tanpa mengindahkan masa transisi.

Dan karena tidak ada perwakilan Senat Universitas dalam MWA, maka terpangkas dan terputuslah prinsip partrisipatori dalam pola good governance ini.

Kemudian bagaimana mekanisme dan proses pemilihan dan penentuan anggota Senat Universitas? Proses pemilihan dan penentuan anggota Senat Unikversitas harus diatur dalam Statuta UI, yang belum ada sekarang ini.

Hal serupa kita temukan pada organ Dewan Guru Besar UI, yang berakhir masa-tugasnya tanggal 24 Agustus 2011 dan memerlukan pemilihan baru atau perpanjangan masa kerja. Lagi-lagi DGB mengalami kenyataan bahwa pekerjaannya tidak dilanjutkan karena “tidak dikenal dalam PP nomor 66 tahun 2011”. Keharusan adanya masa transisio seperti diamanatkan PP 66 tahun 2011 itu sendiri diabaikan. Lagi pula bila masa kerja anggotanya habis, tidaklah berarti organnya dibubarkan.

Konsep Statuta UI yang menyangkut karakter dan semangat UI diajukan kepada Mendiknas tanpa konsultasi dan partisipasi transparan dengan MWA dan Dewan Guru Besa rUI. Dan bila dipelajari konsep yang “bocor” ke tangan di luar Mendiknas, maka dengan terkejut tercermin konsep pengambilan keputusan yang terpusat di satu tangan dan mereduksi UI sebagai “satuan kerja” di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Kemanakah prinsip-prinsip tata kelola good governance?

Yang menarik bahwa konsep Statuta disampaikan kepada Mendiknas sementara Peraturan Pemerintah tentang Status Hukum UI yang menjadi dasar pembuatan statute belum diterbitkan.

Mengapa perkembangan semua ini dimungkinkan dalam lingkungan UI dan Kementerian Pendidikan Nasional ?

Bila saya sampaikan hal-hal ini secara terbuka, bukankah saya membuka aib UI di hadapan publik. Saluran yang semula terbuka bagi saya untuk menyampaikan masalah intern UI kepada yang berkepentingan sejak beberapa lama tertutup karena anggapan bahwa dengan tidak dikenalnya Majelis Wali Amanat dalam PP nomor 66 tahun 2011, sesungguhnya hak hidup MWA tidak ada dan menjadi demisioner, sungguhpun Surat Pengangkatan Mendiknas menjadi anggota MWA belum dicabut.

Saya bersyukur bahwa semalam telah berlangsung pertemuan silaturahmi di rumah saya antara Rektor UI, saudara Gumelar, Ikatan Lulusan Universitas Indonesia, Dipo Alam dan saya untuk kemudian sepakat membentuk tim bersama mengatasi menyelamatkan UI dan menegakkan good governance dalam lingkungan UI.

Permasalahan yang saya singgung disini bukanlah menyangkut masalah perorangan diri saya selaku anggota, atau saudara Gumelar sebagai Rektor, atau saudara Dipo selaku ILUNI. Yang ingin saya angkat adalah rohnya UI yang diembannya selama puluhan tahun. Universitas Indonesia diselenggaran berasaskan kemandirian moral untuk membangun perguruan tinggi sebagai kekuatan modal dalam membangun masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing secara global.

UI bukanlah sekedar kumpulan gedung-gedung di kampus Depok atau Salemba. UI bukan pula kumpulan guru besar, dosen atau orang pintar serta mahasiswa yang rajin berkuliah Senin-Jumat pagi-sore.

UI selama sejarah hidupnya adalah mercu suar kemandirian moral yang tegar berdiri dalam kegelapan masa apapun, diterjang angin taufan perlawanan sedahsyatpun. Karena UI diisi oleh keberanian moral membangun masyarakat yang demokratis dan mampu bersaing secara global.

Saya memilih karier hidup saya 55 tahun lalu bekerja dari tingkat Asisten Dosen sampai Professor Emiritus Universitas Indonesia. Marilah kita bersama pada masa akhir hidup saya kita tetap tegakkan alma mater Universitas Indonesia meneruskan sejarah gemilangnya masa lampau untuk tetap menjadi kekuatan moral membangun masyarakat yang demokratis.

Jakarta, 5 September 2011.
Emil Salim

Polemik Gelar Doktor Honoris Causa

Baru-baru ini, ramai diberitakan bahwa UI memberikan gelar Doktor HC (Honoris Causa) kepada Raja Arab Saudi. Sayangnya, niat baik ini berujung pada polemik. Di bawah ini ada artikel dari kompas.com yang memuat nama-nama penerima gelar Doktor HC dari UI.

Silahkan disimak.

Inilah 9 Penerima Gelar Doktor HC UI
Andy Riza Hidayat | Robert Adhi Ksp | Senin, 5 September 2011 | 21:25 WIB

DEPOK, KOMPAS.com - Sejak tahun 2009 sampai 2011 ini, Universitas Indonesia (UI) telah memberikan gelar doktor honoris causa (HC) kepada sembilan orang.

Mereka antara lain dari dalam negeri dan luar negeri, dari sastrawan sampai kepala negara. Penentuan gelar doktor ini ditentukan oleh Komite Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa.

Sebagian besar gelar ini diberikan di Kampus UI, namun beberapa di antaranya, termasuk Raja Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud diberikan di negaranya.

Inilah penerima gelar doktor honoris causa (HC) UI itu:
(1) Taufik Ismail bidang Ilmu Sastra diberikan 31 Januari 2009
(2) Taufik Abdullah bidang Ilmu Sejarah diberikan 31 Januari 2009
(3) Isidro F Aguillo Cano bidang Sistem Informasi diberikan 16 April 2009
(4) Prof Dr Daisaku Ideka bidang Ilmu Filsafat dan Perdamaian 10 Oktober 2009
(5) Prof Dr Ing BJ Habibie bidang Filsafat Teknologi 6 April 2011
(6) Abdullah Gul bidang Ilmu Politik 6 April 2011
(7) Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan Haji Hassanal Bokiah Mu'izzaddin Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam bidang Filsafat Kemanusiaan dan Peradaban 21 April 2011
(8) Prof APM Heintz MD Phd bidang Humanistic Medicine 26 Juli 2011
(9) Raja Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud bidang Perdamaian Internasional dan Kemanusiaan 21 Agustus 2011

Senin (5/9/2011), Devie Rahmawati, Kepala Kantor Sekretariat Pimpinan UI mengatakan pemberian gelar doktor honoris causa ini dilakukan dengan syarat yang sama oleh komite yang sama.

Namun polemik muncul ketika Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantro memberikan gelar doktor untuk Raja Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud.

Senin, 05 September 2011

Mudik Idul Fitri

Yup, mudik, suatu tradisi turun menurun para kaum rantau yang pernah dan masih memiliki kampung halaman nan jauh dari sumber mata pencaharian mereka saat ini. Fenomena mudik memang selalu menjadi hal yang dinanti-nantikan, bukan hanya oleh mereka kaum rantau tapi juga oleh saya sang penghuni Jakarta. Kenapa? karena Jakarta di saat musim mudik tiba menjadi kota yang sangat menyenangkan. dalam kamus besar bahasa saya, jalan yang menyenangkan adalah ketika Anda bisa melakukan perjalanan dari rumah, ke daerah Pondok Indah, lalu kembali ke Taman Anggrek, dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 1 1/2 jam tanpa adanya hambatan berarti.

Mudik memang seakan menjadi suatu kebutuhan batiniah lebih daripada lahiriah. Karena secara lahirian (badan), maka Anda hanya melakukan tindakan menyiksa diri sendiri secara sadar dan sukarela. Sedangkan secara batiniah, Anda merasa harus kembali ke pelukan kampung halaman, terutama jika disana masih ada orang tua, sanak saudara, dan mungkin juga teman temin (baik mesra maupun tidak). Sebagai orang dengan budaya dari timur, sudah layak dan sepantasnyalah kita menjunjung tinggi balas budi dan abdi baik kita kepada orang tua. Karena kalau tidak, KUALAT lah hukumnya. Siapa yang mau dianggap kualat dengan orang tuanya? ambil contoh lah si Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu karena kualat terhadap Ibunya seorang. Jadi, daripada dikutuk oleh orang tua, jauh lebih baik lah Anda memenuhi kebutuhan batiniah tersebut.

Biasanya, mudik diidentikkan dengan adanya hari raya besar Umat Islam di Indonesia. Karena, menjelang hari raya ini dan juga setelahnya, pemerintah selaku penguasa pemberi hari cuti bersama menetapkan hari-hari sebelum dan sesudah Hari raa Idul Fitri (a.k.a Lebaran) sebagai hari cuti bersama. Jadi, bagi para pencari uang/rejeki seperti saya dan juga Anda, baik yang sudah terbit hari cutinya maupun yang masih memangku penuh harap kapan mendapat jatah cuti, hari tersebut sangatlah dinantikan.

Liburan menjadi tema utama yang hangat diperbincangkan menjelang hari-hari tersebut, dan tentu saja silaturahmi dengan handai taulan di Hari Raya Idul Fitri. Libur menjadi sangat bermanfaat bagi manusia secara umumnya, karena dengan libur berarti Anda meluangkan sedikit waktu untuk mengistirahatkan pikiran Anda untuk hal-hal yang rumit dan berbau kerjaan, dan menggantinya dengan pikiran siapa yang harus mengepel dan juga mencuci baju serta memomong anak dikala sang asisten rumah tangga (A.R.T.) Anda pulang.

Ya, liburan di kala musim mudik tiba memang memberikan efek yang kurang menyenangkan juga, terutama ketika Anda menjadi penunggu rumahan, mengambil alih tugas si A.R.T. yang selama ini tidak menjadi beban pikiran Anda. Bagi Anda pemilik pikiran nan positif, akan menganggapnya sebagai kesempatan untuk melatih gerak badan yang mungkin termasuk kurang (apalagi hidupnya cuman di kubikel kantor yang kerjaannya duduk lebih lama dari berdiri dan ditambah cemilan). Namun, bagi Anda sang oportunis, Anda sudah bersiap-siap kabur liburan sejak dimulai dengan si A.R.T. tidak lagi berada di rumah. karena hanya dengan cara Anda tidak ada di rumah lah maka Anda menjadi terbebas dari tugas rutin A.R.T. anda. Sayang, seperti saya, ada juga orang yang ingin menjadi oportunis dan memilih kabur dari tugas tersebut, hanya saja tidak didudukung dengan kemampuan lain (sebut saja waktu, tenaga, kesempatan - bisa juga dirangkum jadi satu: DANA/UANG/HEPENG/MONEY/FULUS/DUIT) sehingga mengharuskan Anda menjadi seorang positif thinker (kalau mampu) sehingga membuat tugas tersebut menjadi tidak terlalu terasa memberatkan. Sayang, jarang yang mampu kalau tidak terbiasa, termasuk juga saya yang kadang semangat kadang tidak.

Kelengangan Jakarta yang saya sukai selama musim mudik ini ternyata hanya berpindah tempat. Mudik yang juga identik dengan pemindahan kemacetan Jakarta ke beberapa ruas jalur mudik yang sudah dipersiapkan dengan matang oleh Bapak-Ibu Petugas lalu Lintas dari POLRI. Bayangkan saja, pemudik dari jakarta dan juga pemudik kagetan akan memenuhi jalur tersebut menjelang dan juga selesai Hari Raya Idul Fitri. Bahkan kejadian macet yang berulang kali terjadi pun tidak membuat kaum rantau untuk gentar menempuh jalur tersebut, demi memenuhi kebutuhan batiniah mereka. Sungguh suatu tindakan yang patut diacungi 2 jempol.

Paling tidak, semua kelenggangan ini tetap membawa berkah, semua penduduk yang tersisa dan memutuskan menyisakan diri di jakarta turut senang. Polusi udara hasil pembakaran karbon pun berkurang (udah ada yang itung belom yah?). Beban yang diterima jalan-jalan utama dan kecil pun turut berkurang, memperpanjang umur ekonomis jalan raya. Membantu dalam pengeksplorasian Jakarta yang sangat malas dilakukan dengan penduduk penuh sehari-hari. So, banyak juga positifnya toh.. Pasti ada juga sisi kekurangannya, tapi demi menuntaskan misi berpikir positif sisa hasil akibat adanya mudik, maka saya bahas yang positif aja.

Kegiatan mudik tahun ini berangsur-angsur selesai, dan semua aktivitas kembali ke sediakala. Hanya saja masih ada sisa-sisa akibatnya tersebut, ada yang masih merasa kelelahan karena tugas harian A.R.T. mereka, ada juga yang kelelahan lahiriah akibat mudik, namun itu semua seakan telah menjadi rutinitas. Dan yang tidak kalah pentingnya lagi, selalu dinanti orang yang merayakan maupun tidak. Semoga kita masih diberikan umur panjang untuk bertemu di kegiatan mudik tahun-tahun mendatang.

Mumpung masih suasana Idul Fitri, ijinkan saya mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin. Maapin ane, barangkali ade saleh-saleh kate maupun tingkah.

C u next Mudik...

Rabu, 03 Agustus 2011

ad dict ed/ə`diktid/Adjective & chal•lenge [chal-inj] noun

ad dict ed/ə`diktid/Adjective


1. Physically and mentally dependent on a particular substance, and unable to stop taking it without incurring adverse effects
 - she became addicted to alcohol and diet pills

2. Enthusiastically devoted to a particular thing or activity
 - he's addicted to computers
(Ref: http://www.google.com/search?hl=en&rls=com.microsoft:en-us&q=addicted&tbs=dfn:1&tbo=u&sa=X&ei=yvU4TqX7JYXJrAfa86wc&ved=0CBQQkQ4&biw=1259&bih=624)

Itu terjemahan yang muncul ketika pertama kali saya ketikkan kata addicted di dalam google search engine. Yup, kata ini terngiang di telingaku beberapa hari belakangan ini, dan memuncak pada hari ini (pagi menjelang siang ini). Mungkin kata yang sering diasosiasikan dengan kata addicted atau yang diterjemahkan bebas ke Bahasa Indonesia sebagai kecanduan, adalah obat-obatan terlarang atau juga minuman beralkohol.

ke•can•du•an v ki kejangkitan suatu kegemaran (hingga lupa hal-hal yg lain)

Tidak saya lanjutkan lebih jauh tentang kata ini, karena memang nanti ga nyampe-nyampe ke intinya. Saya focus ke terjemahan Bahasa Inggrisnya yang nomer 2(dua), yakni enthusiastically devoted to a particular thing or activity hal inilah yang mendasari dasar pemikiran saya berikutnya.

The DSM- IV (the holy grail of psychiatric diagnosis) has described seven distinctive addiction criteria:
1. Substance is taken in larger amount
2. Persistent desire or repeated unsuccessful attempts to quit
3. Much time or activity is spent to obtain, use, or recover
4. Important social, occupational, or recreational activities given up or reduced
5. Use continues despite knowledge of adverse consequences
6. Tolerance occurs which a marked increase in amount is taken with a marked decrease in effect.
7. Characteristic withdrawal symptoms

Menurut DSM, 7 hal ini menjadi ciri-ciri seseorang sudah termasuk ke dalam kriteria kecanduan. Makin banyak kriteria tersebut Anda temui dalam diri Anda, maka makin besar kemungkinan Anda kecanduan akan hal tersebut.
Terus mau kemana arah bahasan ini? Satu lagi bahasan pendukung untuk melengkapi yang saya maksud, yaitu tantangan!

chal•lenge [chal-inj] noun, verb, -lenged, -leng•ing, adjective
noun
1. A call or summons to engage in any contest, as of skill, strength, etc.
2. Something that by its nature or character serves as a call to battle, contest, special effort, etc.: Space exploration offers a challenge to humankind.
3. a call to fight, as a battle, a duel, etc
4. A demand to explain, justify, etc.: a challenge to the treasurer to itemize expenditures.
5. Difficulty in a job or undertaking that is stimulating to one engaged in it.
(Ref: http://dictionary.reference.com/browse/challenge)

Saya fokus pada nomer 5(lima), yakni Difficulty in a job or undertaking that is stimulating to one engaged in it. Karena beberapa hari ini diskusi saya dan rekan kerja tidak jauh dari bagaimana berjuang dan bertahan dalam perusahaan yang sedang membangun system dan perusahaan yang sudah memiliki system di dalamnya. Dan ternyata, keduanya memiliki tantangan yang berbeda. Kemudian, rekan saya juga mencurahkan hatinya mengenai masalah tantangan. Menurutnya, ia hanya akan berpindah dari perusahaan jika memang sudah dirasakan tidak ada lagi tantangan dalam tempat dimana ia bekerja.

Oleh karena itu, erat sekali dengan pengertian tantangan (challenge) yang nomor 5(lima) tersebut, dimana bias juga tantangan diartikan sebagai kesulitan dalam sebuah pekerjaan atau melakukan suatu kegiatan yang membangkitkan semangat seseorang. Yup, bicara mengenai tantangan tentu tidak akan ada habisnya, dan itu semua tergantung dari bagaimana sudut pandang yang Anda miliki untuk dapat melihat tantangan itu sendiri. Tantangan memang akan dan selalu ada dalam setiap aspek hidup manusia, terutama ketika melakukan kegiatan yang kita sebut bekerja.

Bagaimana Anda menanggapi tantangan tentu akan mempengaruhi bagaimana Anda menjalani dan menuntaskan tantangan tersebut. Dalam bahasan ini, tantangan yang saya bahas tentu akan ditanggapi sebagai positif, karena akan dikaitkan dengan bagaimana sebuah tantangan bias menjadi begitu mencandu. Hal ini pada awalnya mungkin akan dipandang baik, karena menjadikan suatu tantangan sebagai sebuah keadaan yang harus dan baik adanya. Kesulitan bukan lagi suatu momok menakutkan melainkan sebagai suatu keadaan yang dicari, bahkan kalau tidak ada akan menjadi suatu hal yang menakutkan. Seperti halnya cerita teman saya tadi, yang justru akan pergi ketika tantangan itu sudah tidak lagi ditemukan dimana ia bekerja.

Bagaimana Anda tahu bahwa tantangan tersebut tidak membuat anda kecanduan?
Dengan mempertimbangkan 7 ciri yang sudah disebutkan sebelumnya, mari kita telaah bagaimana tantangan bisa menjadi sebuah kecanduan.

1. Substance is taken in larger amount
Ketika pertama kali Anda berhasil menyelesaikan sebuah tugas dengan hasil baik, tentu ada rasa kepuasan dan kebahagiaan yang muncul dalam diri Anda, dan tentu saja hal tersebut akan sangat membuat Anda ketagihan, apalagi jika pernah Anda rasakan lebih dari 5 kali..

2. Persistent desire or repeated unsuccessful attempts to quit
Rasa senang itu seperti layaknya afrodisiak, dan tentu secara psikologis Anda akan senang mengulang hal tersebut berkali-kali. Dan ketika itu berulang, artinya Anda juga akan terus mencari tantangan yang baru dan lebih sulit lagi untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar lagi..

3. Much time or activity is spent to obtain, use, or recover
Apakah anda pernah merasakan keletihan dan seakan Anda merasa bahwa tenaga Anda sudah terkuras dengan sangat hebat sehingga tidak lagi mampu untuk bergerak sekalipun. Anda hanya merasa ingin istirahat yang lama, dan tidur yang pulas untuk mengembalikan stamina Anda. Namun begitu, Anda kerap mencari tantangan baru dan lebih hebat lagi di kemudian hari ketika tenaga Anda benar-benar pulih.

4. Important social, occupational, or recreational activities given up or reduced
Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk bekerja, apakah benar 8 jam? Atau ternyata lebih? Belum lagi ketika Anda terus memikirkan pemrasalahan yang muncul di kantor pada saat seharusnya Anda menghabiskan waktu dengan keluarga. Banyak yang mengatakan tubuh tidak lagi ada jiwa di dalamnya, pikiran Anda melayang ke kantor sementara tubuh tetap berada di rumah. Banyak juga yang tidak lagi percaya bahwa masalah rumah tidak boleh (atau akan) mempengaruhi masalah kantor, memang suatu hal yang mustahil karena akan saling berhubungan, akan tetapi itu semua harus dimulai, karena kalau tidak waktu Anda yang berkualitas untuk istirahat, untuk keluarga, dan untuk diri Anda sendiri akan semakin terkikis habis. Dan akhirnya, hidup Anda benar-benar tersedot habis total oleh pekerjaan yang Anda “cintai”.

5. Use continues despite knowledge of adverse consequences
Meskipun Anda menyadari segala yang muncul di atas, akan tetapi Anda serasa tidak berdaya untuk mengatasinya dan memutuskan tali rantainya. Selalu saja ada alasan yang Anda kemukakan untuk diri sendiri dan meyakinkan Anda bahwa Anda tidak melakukan kesalahan. Anda merasa harus memberikan totalitas dalam bekerja dan dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab Anda. Hingga akhirnya Anda lupa bahwa Anda memiliki tugas dan tanggung jawab lain dalam hidup Anda yang tidak hanya terbatas pada bidang pekerjaan Anda saja.

6. Tolerance occurs which a marked increase in amount is taken with a marked decrease in effect.
Anda pernah berjanji bahwa ini adalah kesempatan yang terakhir, tetapi seringkali Anda ingkar kepada janji Anda sendiri dan kembali melakukan hal yang serupa di kemudian hari. Anda sadar bahwa tindakan Anda menghabiskan waktu berkualitas Anda dengan keluarga, bahwa kesehatan Anda menurun, bahwa tekanan pikiran Anda meningkat setiap harinya, dan apa yang Anda lakukan? Hanya sebatas mengeluh dan tidak melakukan tindakan apapun yang sungguh-sungguh memperbaiki hal tersebut. Justru kebalikannya, Anda malah semakin menjadi-jadi untuk kembali melakukan hal yang smaa berulang kali lagi, karena Anda merasa itu semua akan terbayar kelak nanti ketika Anda sudah mencapai tujuan yang Anda mau. Apakah Anda tahu dimana dan apa tujuan tersebut? Kalau Ya, apakah ada batas waktunya? Kalau Belum, lalu untuk apa Anda melakukan semua itu?

7. Characteristic withdrawal symptoms
Akhirnya, perlahan tapi pasti, Anda mulai menarik diri Anda sendiri dari lingkungan social dimana Anda berada, dan memiliki dunia sendiri, sehingga Anda melakukan pembenaran secara sepihak bahwa apa yang Anda lakukan adalah apa yang terbaik untuk Anda sendiri. Anda merasa bahwa orang lain yang tidak sama dengan Anda adalah orang yang ‘aneh’, dan Anda kemudian akan mencari lingkungan dengan orang-orang yang setipe dengan Anda (hanya semata untuk membela kepercayaan Anda). Justru hal ini akan semakin menguatkan Anda untuk tertarik semakin jauh ke dalam kecanduan akan tantangan dan tentu saja Anda akan menilai orang lain menjadi kurang tantangan.


Lalu apa yang harus Anda lakukan?

1. Tanamkan diri Anda bahwa tantangan itu baik, TETAPI dengan porsi yang seimbang.

Satu dua tantangan tentu tidak akan membunuh Anda, akan tetapi Anda harus ingat bahwa Anda masih memiliki tujuan hidup lainnya, selain tantangan tersebut. Ada tantangan lain dalam hidup Anda yang tentu harus Anda capai, dan ketika sudah mencapainya, jangan lupa untuk bersyukur bahwa Anda sudah mencapainya.

2. Berikan batasan waktu yang jelas, akan semua aktivitas dalam hidup Anda.
Kita semua tahu bahwa hidup memang memiliki prioritas, dan tugas Anda memilih mana prioritas yang terbesar dalam hidup Anda baru kemudian diikuti dengan prioritas kecil lainnya. Dan ingat, prioritas artinya penting, baik besar maupun kecil pentingnya adalah sama (sesuai dengan porsinya masing-masing).

3. Work Life balance.
Hidup yang seimbang memang seakan seperti mimpi yang tidak akan pernah terwujud, akan tetapi bukankah mimpi itu memang untuk dikejar dan yang paling penting adalah mimpi itu untuk dijalani setiap waktu dan setiap harinya. Jadi, kalau Anda tidak pernah melakukan apapun untuk mewujudkan kehidupan seimbang antara pekerjaan dan kehidupan, maka tentu saja hal tersebut hanya akan menjadi utopia yang basi!


Tantangan, selalu ada untuk membuat hidup Anda menjadi lebih berarti, karena tanpa tantangan tentu saja hidup ini akan menjadi hambar dan hampa. Tetapi, ketika Anda menjadi lupa diri akan usaha mencapai keberhasilan di balik setiap tantangan tersebut dan lebih parah menjadi suatu kecanduan, maka hidup Anda akan berubah total secara perlahan menjadi pasti kearah menghancurkan diri sendiri. Jadi, keputusan ada di tangan Anda, kalau Anda merasa tidak ada masalah dengan apa yang akan terjadi ke depannya, semua adalah pilihan Anda. Lagipula, hidup adalah pilihan, yang harus dipilih dengan segala konsekuensi di dalamnya.

Selasa, 19 Juli 2011

Setahun kemarin

Setahun kemarin
by: KAHITNA

Di ujung jalan itu
setahun kemarin, ku teringat
Kau menungguku
Bidadari belahan jiwaku

Entah berapa lama
Satu jam menanti, kutermenung
Kencan pertama hilang tak bertepi di anganku

Melangkah pergi Berteman sepi
Terbayang teduh matamu

Sayang, walau bulan tak bercahaya
Cintaku selalu dalam jiwa
Di lubuk hati terdalam

Sayang, jika memang kau sungguh sayang
Diriku takkan berpaling lagi
Ku peluk selamanya


Yup, lirik di atas hanya sekedar pengantar saja, tulisan kali ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kisah kasih milikku.

Setahun lalu, di tanggal-tanggal ini, saya berada dalam persimpangan jalan yang sangat berat, dan itu semua kulalui dengan tegar. Saya menjalani rapat pertanggung-jawaban pemegang saham dari kantor yang kupimpin dan kurintis. Penuh halang rintang, namun kini itu semua menjadi pengalaman yang mendewasakan.

Banyak penglaman berharga yang kupetik pada saat itu, yang memang tidak pernah kudapatkan di bangku kuliah. Pengalaman yang hanya diajarkan oleh guru abadi, yakni "HIDUP".

1. Jangan menunda hal kecil
Banyak sekali persoalan kecil, yang pada waktu lalu terkesan belum penting namun menjadi perhatian akhirnya terabaikan. Hal ini terutama terkait dengan masalah pencatatan uang yang memang penuh dengan hal sensitif dan kurang menarik. Pada akhirnya, hal yang sepele tersebut menjadi sumber permasalahan yang merepotkan. Nah tips dari saya, jika Anda memang tidak berpengalaman di bidang pencatatan keuangan, sebaiknya cari atau rekrut orang yang memang berpengalaman di bidangnya. (NB: kalau mau lebih irit, minta tolong sama saudara yang memang paham hal ini).

2. Kerjasama dengan orang yang senasib sepenangungan
Sebuah kerja sama selalu diawali dengan rasa senang, suka cita, penuh gegap gempita, dan rasa tidak sabar untuk memulai jalinan kerjasama tersebut. Namun, seiring dengan persoalan yang timbul, semakin lama semakin banyak. Semakin banyak masalah yang muncul akan membuatmu semakin mudah untuk memberikan penilaian akan kinerja dari rekan kerjamu. Ada yang memang tidak setia dengan kata awal, ada yang memang benar menunjukkan keseriusan dalam kelangsungan kerja sama yang baik. Jangan pernah hanya tergiur dengan pemanfaatan sebelah pihak, artinya, Anda hanya mengandalkan hubungan berazas manfaat. Kalau manfaatnya sudah mulai habis, maka Anda sudah pasti akan malas melanjutkan hal tersebut. Carilah rekan kerja yang memang benar-benar mau memikul berat yang sama dan menjinjing ringan yang sama. Tidak akan ada rekan kerja yang instan langsung begitu hebat. Semua butuh PROSES, dan kalau sudah menyebut proses, artinya butuh waktu yang hitungannya bisa tahunan, kalau untung bulanan juga bisa. Intinya, pengalaman pahit akan menunjukkan sesungguhnya siapa rekan kerja Anda yang mungkin manis di awal dengan janji-janjinya belaka. Tips: sebisa mungkin sih cari rekan yang kurang lebih satu level dengan Anda, artinya tidak timpang sebelah. Kalau belum ketemu, lebih baik menunda sebentar untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. (NB: rekan kerja juga harus bisa jadi pendukung dan oposisi secara bergantian dalam kapasitasnya)

3. Berpegang teguh pada pendirianmu.
Seperti halnya, itu yang membuatmu memulai suatu tindakan. Jadikan juga pendirianmu sebagai hal terakhir yang tetap berdiri tegar menemanimu hingga akhir nanti. Ketika harus kau mengalah pada kenyataan pahit hidup, biarkan pendirianmu tetap tegar menjulang memperjuangkan idealisme dalam dirimu. Karena, hanya itu dan itu saja yang akan membuatmu terus bangkit berjuang setelah kegagalan demi kegagalan menghampiri. Jadi, jangan pernah berhenti berjuang dengan pendirianmu.

Hmm, mungkin banyak hal yang bisa dipelajari, mungkin juga ketiga hal diatas tidak bermakna atau rendah untuk Anda, tapi setidaknya saya telah mempelajari hal tersebut langsung dari 'sang guru'. Saya berterima kasih atas apa yang terjadi pada diriku sampai dengan detik ini. Tidak lupa, TUHAN, yang senantiasa berada menaungiku.

Kamis, 08 Juli 2010

Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.

Sering kali aku berkata,

ketika orang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Nya,

bahwa rumahku hanya titipan Nya,

bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,


tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,

mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?


Ketika diminta kembali,

kusebut itu sebagai musibah,

kusebut itu sebagai ujian,

kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.


Ketika aku berdoa,

kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak rumah,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit,

kutolak kemiskinan,


Seolah ...

semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah ...

keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:

aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,


Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,

hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...


"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"


WS Rendra

Senin, 10 Mei 2010

What is Self managed power team?

Another type of team commonly being used in organizations is the self directed or self managed team. A self managed work team is a formal group of employees that operates without a manager and is responsible for a complete work process or segment that delivers a product or services to an external or internal customer. Nearly 70 per cent of the Fortune 1000 organizations have implemented self managed work teams. Typically this kind of team has control over its work pace, determines work assignments and when breaks are taken, and inspects its own work. Fully self managed work teams even select their own members and have the members evaluate each other’s performance. As a result, supervisory positions take on decreased importance and may even be eliminated.

How do Cross functional Teams operate?

A formal group of employees that operates without a manager and is responsible for a complete work process or segment that delivers a product or service to an external or internal customer.

The next type of team we will identify is the cross functional work team, which consists of employees from about the same hierarchical level but from different work areas in the organization. Workers are brought together to accomplish a particular task.

Many organizations have used cross functional teams for years. For example, Orissa was the first state in the Indian Union as well as the first region in south Asia to bring about reform in the electricity sector. Under the reform program, the former Orissa State Electricity Board was unbundled into generation, transmission (GRIDCO) an distribution (DISTCO) and the four distribution zones were privatized through the process of international competitive bidding. The change initiative entailed overcoming a lot of resistance from the employees. In order to overcome resistance to change, employee involvement initiatives in the form of suggestions schemes and cross functional teams were out into practice. However, the popularity of cross functional work teams exploded in the late 1980s. All the major automobile manufacturers including Toyota, DaimlerChrysler, Nissan, General Motors, Ford, Honda, and BMW have turned to this form of team in order to coordinate complex projects. For example, following its acquisition of Korea based DWCV, Tata Motors in India is planning to introduce cross functional teams in its medium truck segment, making it more internationally oriented. ONGC (Oil and natural Gas Commission) had taken the help of UK based consultants Gaffney Cline Associates. Over 200 cross functional teams had interacted with the Gaffney experts, which helped ONGC develop multi disciplinary mode of functioning where a team of people drawn form various disciplines such as exploration, drilling and production work towards a goal.

Cross functional teams is also an effective way to allow employees form diverse areas within an organization to exchange information, develop new ideas, solve problems, and coordinate complex tasks. But cross functional teams can be difficult to manage. The early stages of development (e.g. storming) are often time consuming as members learn to work with diversity and complexity. This difficulty with diversity however can be tuned into an advantage. For example, remember our discussion of group decision making. One of the tenets of that process was that groups provided more complete information and were more creative than individuals. The diversity of a work team can help identify creative or unique solutions. Furthermore, the lack of a common perspective caused by diversity usually means that team members will spend more time discussing relevant issues, which decreases the likelihood that a weak solution will be selected. However, keep in mind that the contribution that diversity makes to teams probably will decline over time. As team members become more familiar with one another, they form a more cohesive group, but the positive aspect of this decline in diversity is that a team bond it built. It takes time to build trust and team work.


more at http://www.citeman.com/9459-what-is-self-managed-power-team/#ixzz0nUBkeHd5