Kata leader sudah pasti akan diikuti dengan memiliki anak buah. Baru-baru ini, seorang manager senior di tempat saya bekerja men-share-kan kisah dan petuah dari Dahlan Iskan (Menneg BUMN - incumbent 2012), pada intinya adalah seorang atasan yang baik jika dan hanya jika ia pernah menjadi seorang bawahan yang baik. Setidaknya itu yang saya tangkap dari cerita yang dibagi manager senior itu.
Belum lama ini, saya juga sempat berdiskusi dengan seorang kolega, bahwa alasan utama (mungkin tidak pertama) bahwa seseorang keluar atau tidak merasa kerasan dengan tempat dimana ia berkarya saat ini adalah masalah kepemimpinan. kepemimpinan otomatis erat kaitannya dengan pimpinan, dan bagaimana ia berperilaku dan bertindak.
Saya rasa, memang tidak otomatis bahwa bawahan yang baik akan menjadi atasan yang baik pula. Masih banyak faktor X lain yang turut berperan serta mempengaruhi kinerja mereka. Banyak teori yang membahas mengenai bagaimana cara memimpin yang baik dan benar. Atau bagaimana mengelola bawahan secara baik dan benar. Tapi, seperti layaknya hubungan simbiosis mutualisme sebuah hubungan kerja, dalam hal ini bawahan juga memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan atasannya. Artinya, bawahan tidak dalam kondisi lumrah dan maklum bahwa ia harus diperlakukan dengan baik. Melainkan ia pun harus mampu dan mumpuni dalam memperlakukan atasan dengan baik. Hanya dengan cara inilah, hubungan simbiosis mutualisme dapat berjalan dengan selayaknya.
Mengelola atasan, menjadi topik yang sangat jarang sekali disinggung, mungkin karena pemimpin dianggap harus memiliki sifat dan sikap mengayomi bawahannya. Padahal, seorang atasan juga sama manusianya dengan bawahannya, sama-sama mampu merasakan kecewa dan sakita hati kalau ada bawahannya yang tidak dapat mengerti dan memahami apa yang menjadi keinginannya. Kemudian, topik ini akan kembali meluas kepada masalah komunikasi dan kerja sama dalam kelompok, dan sebagai macam lainnya lagi.
Namun, satu hal yang pasti adalah, menjadi seorang pemimpin mempunyai etika dan aturannya sendiri, pun begitu juga dengan menjadi seorang yang dipimpin. Jika masing-masing menyadari tugas dan fungsinya dengan baik, ditambah dengan adanya toleransi dan tenggang rasa, bukan tidak mungkin suasana harmonis dalam kelompok kerja dapat tercipta. Pada akhirnya akan berdampak pula peningkatan masing-masing kinerja, baik yang memimpin maupun yang dipimpin.
Perlu proses panjang dan tidak pernah berhenti untuk menemuka dinamika harmonis seperti yang saya maksud, dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, dengan tetap memiliki pemikiran yang positif, semua itu bukan tidak mungkin dpaat terwujud. Saya pun masih menjalani kedua posisi tersebut dan berusaha dengan baik mencoba memahami dan melaksanakan apa yang menjadi etika masing-masing posisi tersebut.
Selamat berjuang dan mencoba. Tetap semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar